The Queen’s Gambit: Antara Catur dan Realitas Sosial

Cescadeva Naufal
5 min readJan 8, 2021
Sumber: cultura.id

Pandemi yang memaksa orang-orang untuk “terkurung” di rumah masing-masing, membuat mereka melakukan aktivitas yang tidak biasa ia lakukan pada keseharian biasanya. Membuat tren baru di media sosial, memasak hidangan rumah a la restoran, dan bermain permainan jadul adalah contoh bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di rumah.

Salah satu permainan yang kembali digemari di masa pandemi ini adalah permainan catur. Permainan berumur ratusan tahun ini terbukti banyak dimainkan di masa lockdown ini, termasuk saya. Seperti apa yang ditulis oleh Wall Street Journal, data dari situs Chess.com menunjukkan bahwa jumlah permainan catur yang berakhir skakmat di situs mereka pada bulan Mei 2020 rata-rata berada di angka sekitar 9 juta permainan.

Seakan mendorong semangat untuk bermain catur, Netflix kemudian merilis serial drama berjudul ‘The Queen’s Gambit’ pada 23 Oktober 2020 lalu. Series yang berfokus pada olahraga catur ini menceritakan tentang Elizabeth “Beth” Harmon (diperankan oleh Anya Taylor-Joy), seorang pecatur yatim piatu yang berbakat, dalam perjalanannya menuju pemain catur terbaik dunia. Sembari memikirkan langkah bidak caturnya, ia harus berdampingan dengan masalah hidupnya, dan juga ketergantungannya terhadap alkohol dan obat-obatan. Serial ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karangan Walter Tevis yang dirilis pada tahun 1983.

Jika saya harus memberikan satu kalimat untuk mendeskripsikan serial ini, maka saya akan mengatakan “bukan tentang raja dan pionnya, namun tentang dunia dan isinya”. Apa yang ditunjukkan oleh ‘The Queen’s Gambit’ bukan hanya bagaimana Beth melakukan skakmat kepada musuhnya dengan bidak caturnya, namun juga mengenai tren fashion pada tahun ’50-‘60an, bagaimana ketegangan politik perang dingin di masa itu, hingga bagaimana seseorang membentuk identitas dirinya oleh apa yang diberikan lingkungannya.

Untuk mengulas mengenai serial ini, saya ingin mengupas satu per satu isi dari ‘The Queen’s Gambit’. Pertama, bagaimana sutradara Scott Frank mampu memvisualisasikan novel karya Walter Tevis ini dengan begitu indah dan penuh estetika. Seperti yang saya tuliskan di atas, serial ini tidak berfokus pada catur, namun bagaimana realitas sosial yang mampu ditunjukkan dengan permainan catur. Perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa itu diperlihatkan dalam serial ini secara menegangkan namun juga secara simpel.

Di waktu-waktu itu, catur merupakan salah satu permainan diplomatis yang menjadi metafora untuk konflik antara Amerika dan USSR. Beth yang berasal dari Lexington, Kentucky sangat ingin mengalahkan Vasily Borgov (diperankan oleh Marcin Doroci?ski), pemegang gelar juara dunia catur yang berasal dari Uni Soviet. Jika ingin tahu bagaimana menegangkannya, ketika bermain di kejuaraan Meksiko, Borgov bahkan ditemani oleh KGB, satuan tugas pengamanan dari Uni Soviet di masa itu. Hal yang sama berlaku juga ketika Beth pergi ke Moskow untuk melawan Borgov di permainan terakhir. Bedanya, Beth ditemani oleh CIA dan juga diberikan instruksi yang cukup ketat.

Selain politik, tata busana yang ditampilak dalam serial ini juga membawa kita kembali ke Amerika tahun ’50-‘60an. Pria-pria yang memakai setelan kerja dan para wanita yang pakaian serba tebal sangatlah ikonik di era itu. Aspek fashion ini kemudian sempat menjadi sebuah masalah untuk Beth ketika ia pertama kali masuk ke SMA. Pasalnya, ia masih mengenakan pakaian seragam yang mirip dengan seragam panti asuhan. Dress dengan sepatu dan kaus kaki yang kebesaran membuat ia di-bully oleh para perempuan populer di sekolahnya. Kejadian ini akhirnya membuatnya merubah model berpakaiannya menjadi lebih modis. Model fashion Beth ini lah yang kemudian menjadi simbol dari serial ‘The Queen’s Gambit’ sendiri.

Melihat hal-hal besar dari realitas yang digambarkan oleh series ini, Scott Frank juga tidak melupakan realitas-realitas “mikro” yang menjadi dasar para tokoh untuk lebih hidup. Diceritakan semasa kecilnya, Beth Harmon dibawa ke Methuen Home, panti asuhan untuk anak perempuan, setelah ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Merasa bosan dengan kegiatan di sana, Beth diam-diam belajar catur bersama penjaga gedung di basemen, Mr. Shaibel (diperankan oleh Bill Camp). Dari situlah awal karir Beth dalam dunia catur.

Sumber: imdb.com

Di Methuen, semua anak akan diberikan obat penenang (tranquilizer) agar anak-anak merasa lebih tenang. Jolene (diperankan oleh Moses Ingram), teman Beth di Methuem, menyarankan agar obat itu diminum malam hari agar efeknya lebih terasa. Obat yang diminum ternyata membuat Beth mampu meningkatkan daya mentalnya dalam permainan catur. Bahkan, ia mampu membayangkan permainan penuh catur di langit-langit gedung.

Akibat instruksi dari Jolene lah Beth menjadi pecandu obat-obatan. Nekatnya, Beth bahkan sempat mencuri satu toples besar tranquilizer ketika pihak Methuen sudah dilarang untuk memberikannya kepada anak-anak. Kecanduannya terhadap obat penenang terus berlangsung, bahkan hingga ia dewasa. Lanskap kecanduan obat-obatan sejak dini ini memang benar-benar terjadi di tahun ‘50an. Panti asuhan di beberapa negara memang memberikan obat penenang kepada anak-anak asuh mereka agar mereka dapat dengan mudah diatur.

Melihat hal-hal besar dari realitas yang digambarkan oleh series ini, Scott Frank juga tidak melupakan realitas-realitas “mikro” yang menjadi dasar para tokoh untuk lebih hidup. Diceritakan semasa kecilnya, Beth Harmon dibawa ke Methuen Home, panti asuhan untuk

Akibat instruksi dari Jolene lah Beth menjadi pecandu obat-obatan. Nekatnya, Beth bahkan sempat mencuri satu toples besar tranquilizer ketika pihak Methuen sudah dilarang untuk memberikannya kepada anak-anak. Kecanduannya terhadap obat penenang terus berlangsung, bahkan hingga ia dewasa. Lanskap kecanduan obat-obatan sejak dini ini memang benar-benar terjadi di tahun ‘50an. Panti asuhan di beberapa negara memang memberikan obat penenang kepada anak-anak asuh mereka agar mereka dapat dengan mudah diatur.

Beth yang kemudian diadopsi oleh Alma Wheatley (diperankan oleh Marielle Heller), diberikan kebebasan yang berbeda dengan apa yang ada di panti asuhan. Alma bahkan membolehkan Beth, yang pada saat itu masih belum cukup umur, untuk meneguk minuman keras seperti bir, tequila, dan sejenisnya. Beth akhirnya juga menjadi pecandu alkohol, dan bahkan sangat parah.

Dari gambaran cerita Beth di atas, hal ini menunjukkan bahwa scene realitas sosial yang dibangun oleh Scott Frank dalam serial ‘The Queen’s Gambit’ adalah bagaimana seseorang membentuk identitas dirinya dari apa yang lingkungan berikan. Beth menjadi handal dalam permainan catur ketika ia dilatih oleh Mr. Shaibel. Ia menjadi pecandu obat-obatan karena berteman dengan Jolene. Dan ia juga menjadi pecandu alkohol karena Alma memperbolehkannya untuk minum miras sejak dini.

Masih banyak realitas-realitas sosial yang digambarkan oleh Scott Frank di ‘The Queen’s Gambit’. Indahnya gambar yang disuguhkan dan cerita yang didominasi oleh permainan catur bahkan hampir membuat saya tidak sadar jika ada pesan-pesan yang ingin disampaikan secara tersembunyi dalam film ini. Beralih dari bagaimana serial ini mencerminkan dunia nyata, ‘The Queen’s Gambit’ adalah salah satu serial terbaik yang pernah saya tonton.

Artikel ini pertama kali diunggah di https://www.crastfm.com/article/view/77

--

--

Cescadeva Naufal
0 Followers

Hi! I'm Deva, a communication student who takes on journalistic concentration. Glad you're here!